Presiden Soekarno pada tanggal 5 Juli 1959 mengeluarkan Dekrit Presiden yang
isinya pembubaran konstituante, diundangkan dengan resmi dalam Lembaran Negara
tahun 1959 No. 75, Berita Negara 1959 No. 69 berintikan penetapan berlakunya
kembali UUD 1945 dan tidak berlakunya lagi UUDS 1950, dan pembentukan MPRS dan
DPAS. Salah satu dasar pertimbangan dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959
adalah gagalnya konstituante melaksanakan tugasnya.[5] Pada masa ini
Soekarno memakai sistem demokrasi terpimpin. Tindakan Soekarno mengeluarkan
Dekrit pada tanggal 5 Juli 1959 dipersoalkan keabsahannya dari sudut yuridis
konstitusional, sebab menurut UUDS 1950 Presiden tidak berwenang
“memberlakukan” atau “tidak memberlakukan” sebuah UUD, seperti yang dilakukan
melalui dekrit. Sistem ini yang mengungkapkan struktur, fungsi dan mekanisme,
yang dilaksanakan ini berdasarkan pada sistem “Trial and Error” yang
perwujudannya senantiasa dipengaruhi bahkan diwarnai oleh berbagai paham
politik yang ada serta disesuaikan dengan situasi dan kondisi yang cepat
berkembang. Maka problema dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara yang berkembang pada waktu itu bukan masalah-masalah yang bersifat
ideologis politik yang penuh dengan norma-norma ideal yang benar, tetapi masalah-masalah
praktis politik yang mengandung realitas-realitas objektif serta mengandung
pula kemungkinan-kemungkinan untuk dipecahkan secara baik, walaupun secara
normatif ideal kurang atau tidak benar. Bahkan kemudian muncul penamaan sebagai
suatu bentuk kualifikasi seperti “Demokrasi Terpimpin” dan “Demokrasi
Pancasila”. Berbagai “Experiment” tersebut ternyata menimbulkan
keadaan “excessive” (berlebihan) baik dalam bentuk “Ultra Demokrasi”
(berdemokrasi secara berlebihan) seperti yang dialami antara tahun 1950-1959,
maupun suatu kediktatoran terselubung (verkapte diktatuur) dengan
menggunakan nama demokrasi yang dikualifikasi (gekwalificeerde democratie).[6]
Sistem “Trial and Error” telah membuahkan sistem multi ideologi dan
multi partai politik yang pada akhirnya melahirkan multi mayoritas, keadaan ini
terus berlangsung hingga pecahnya pemberontakan DI/TII yang berhaluan
theokratisme Islam fundamental (1952-1962) dan kemudian Pemilu 1955 melahirkan
empat partai besar yaitu PNI, NU, Masyumi dan PKI yang secara perlahan terjadi
pergeseran politik ke sistem catur mayoritas. Kenyataan ini berlangsung selama
10 tahun dan terpaksa harus kita bayar tingggi berupa:
(1). Gerakan separatis pada tahun 1957;
(2). Konflik ideologi yang tajam yaitu antara Pancasila dan ideologi Islam,
sehingga terjadi kemacetan total di bidang Dewan Konstituante pada tahun 1959.
Oleh karena konflik antara Pancasila dengan theokratis Islam fundamentalis
itu telah mengancam kelangsungan hidup Negara Pancasila 17 Agustus 1945, maka
terjadilah Dekrit Presiden pada tanggal 5 Juli 1959 dengan tujuan kembali ke
UUD 1945 yang kemudian menjadi dialog Nasional yang seru antara yang Pro dan
yang Kontra. Yang Pro memandang dari kacamata politik, sedangkan yang Kontra
dari kacamata Yuridis Konstitusional. Akhirnya memang masalah Dekrit Presiden
tersebut dapat diselesaikan oleh pemerintah Orde Baru, sehingga Dekrit Presiden
5 Juli 1959 kelak dijadikan salah satu sumber hukum dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Selanjutnya pada perang revolusi yang
berlangsung tahun 1960-1965, yang sebenarnya juga merupakan prolog dari
pemberontakan Gestapu/PKI pada tahun 1965, telah memberikan pelajaran-pelajaran
politik yang sangat berharga walau harus kita bayar dengan biaya tinggi.[7]
Konfigurasi Politik Era Orde Lama
Politik Indonesia (Antara Demokrasi dan Sentralisme Politik)
Good Goverment
Konfigurasi Politik era Orde Baru
SISTEM POLITIK INDONESIA
Sistem Pemerintahan di Indonesia
Mempelajari Perkembangan Politik di Indonesia
Konfigurasi Politik Era Orde Lama
Politik Indonesia (Antara Demokrasi dan Sentralisme Politik)
Good Goverment
Konfigurasi Politik era Orde Baru
SISTEM POLITIK INDONESIA
Sistem Pemerintahan di Indonesia
Mempelajari Perkembangan Politik di Indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar