Konfigurasi Politik era Orde Baru

            Peristiwa yang lazim disebut Gerakan 30 September/Partai Komunis Indonesia (G30S/PKI) menandai pergantian orde dari Orde Lama ke Orde Baru. Pada tanggal 1 Maret 1966 Presiden Soekarno dituntut untuk menandatangani sebuah surat yang memerintahkan pada Jenderal Soeharto untuk mengambil segala tindakan yang perlu untuk keselamatan negara dan melindungi Soekarno sebagai Presiden.  Surat yang kemudian dikenal dengan sebutan Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) itu diartikan sebagai media pemberian wewenang kepada Soeharto secara penuh.
            Orde Baru dikukuhkan dalam sebuah sidang MPRS yang berlangsung pada Juni-Juli 1966. diantara ketetapan yang dihasilkan sidang tersebut adalah mengukuhkan Supersemar dan melarang PKI berikut ideologinya tubuh dan berkembang di Indonesia. Menyusul PKI sebagai partai terlarang, setiap orang yang pernah terlibat dalam aktivitas PKI ditahan. Sebagian diadili dan dieksekusi, sebagian besar lainnya diasingkan ke pulau Buru.[8]  Pada masa Orde Baru pula pemerintahan menekankan stabilitas nasional dalam program politiknya dan untuk mencapai stabilitas nasional terlebih dahulu diawali dengan apa yang disebut dengan konsensus nasional. Ada dua macam konsensus nasional, yaitu :
1.      Pertama berwujud kebulatan tekad pemerintah dan masyarakat untuk melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Konsensus pertama ini disebut juga dengan konsensus utama.
2.      Sedangkan konsensus kedua adalah konsensus mengenai cara-cara melaksanakan konsensus utama. Artinya, konsensus kedua lahir sebagai lanjutan dari konsensus utama dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan. Konsensus kedua lahir antara pemerintah dan partai-partai politik dan masyarakat.
            Secara umum, elemen-elemen penting yang terlibat dalam perumusan konsensus nasional antara lain pemerintah, TNI dan beberapa organisasi massa. Konsensus ini kemudian dituangkan kedalam TAP MPRS No. XX/1966, sejak itu konsensus nasional memiliki kekuatan hukum yang mengikat bagi seluruh rakyat Indonesia.[9] Beberapa hasil konsensus tersebut antara lain penyederhanaan partai politik dan keikutsertaan TNI/Polri dalam keanggotaan MPR/DPR. Berdasarkan semangat konsensus nasional itu pemerintah Orde Baru dapat melakukan tekanan-tekanan politik terhadap partai politik yang memiliki basis massa luas. Terlebih kepada PNI yang nota bene partai besar dan dinilai memiliki kedekatan dengan rezim terdahulu. Pemerintah orde baru juga melakukan tekanan terhadap partai-partai dengan basis massa Islam. Satu contoh ketika para tokoh Masyumi ingin menghidupkan kembali partainya yang telah dibekukan pemerintah Orde Lama, pemerintah memberi izin dengan dua syarat. Pertama, tokoh-tokoh lama tidak boleh duduk dalam kepengurusan partai. Kedua, masyumi harus mengganti nama sehingga terkesan sebagai partai baru.[10]  Pada Pemilu 1971 partai-partai politik disaring melalui verifikasi hingga tinggal sepuluh partai politik yang dinilai memenuhi syarat untuk menjadi peserta pemilu. Dalam pemilu kali ini didapati Golongan Karya (Golkar) menjadi peserta pemilu. Pada mulanya Golkar merupakan gabungan dari berbagai macam organisasi fungsional dan kekaryaan, yang kemudian pula pada 20 Oktober 1984 mendirikan Sekretariat Bersama Golongan Karya (Sekber Golkar). Tujuannya antara lain memberikan perlindungan kepada kelompok-kelompok fungsional dan mengkoordinir mereka dalam front nasional. Sekber Golkar ini merupakan organisasi besar yang dikonsolidasikan dalam kelompok-kelompok induk organisasi seperti SOKSI, KOSGORO, MKGR dan lainnya sebagai “Political Battle Unit “ rezim orde baru.
Pasca pemilu 1971 muncul kembali ide-ide penyederhanaan partai yang dilandasi penilaian hal tersebut harus dilakukan karena partai politik selalu menjadi sumber yang mengganggu stabilitas, gagasan ini menimbulkan sikap Pro dan Kontra karena dianggap membatasi atau mengekang aspirasi politik dan membentuk partai-partai hanya kedalam golongan nasional, spiritual dan karya.[11]
Pada tahun 1973 konsep penyederhanaan partai (Konsep Fusi) sudah dapat diterima oleh partai-partai yang ada dan dikukuhkan melalui Undang-Undang No. 3/1975 tentang Partai Politik dan Golongan, sistem fusi ini berlangsung hingga lima kali Pemilu selama pemerintahan orde baru (1977, 1982, 1987, 1992 dan 1997).



Konfigurasi Politik Era Orde Lama
Politik Indonesia (Antara Demokrasi dan Sentralisme Politik)
Good Goverment
Konfigurasi Politik era Orde Baru
SISTEM POLITIK INDONESIA
Sistem Pemerintahan di Indonesia 
Mempelajari Perkembangan Politik di Indonesia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar