1. Al-Kindi
(796-873 M)
Nama lengakap Al-Kindi adalah Abu Yusuf Ya’qub bin
Ishaq Ash-Shabbah bin ‘Imran bin Isma’il bin Al-Asy’ats bin Qays Al-Kindi. Ia
dilahirkan di Kuffah tahun 185 H (801M). Ayahnya adalah Gubernur Kuffah pada
masa Al-Mahdi dan Harun Al-Rasyid dari bani ‘Abbas. Ayahnya meninggal beberapa
tahun setelah Al-Kindi lahir. Dengan demikian Al-Kindi dibesarkan dalam keadaan
yatim. Al-Kindi pada masa kecilnya memperoleh pendidikan di Bashrah. Setelah
tamat dikota Bashrah ia belajar kekota Baghdad hingga tamat, Ia mahir sekali
dalam berbagai macam cabang ilmu yang ada pada waktu itu, seperti ketabiban,
filsafat, ilmu hitung, manthiq (logika), geometri, astronomi, dan lain
sebagainya.
Al-Kindi adalah filosuf Islam yang mula-mula secara
sadar mempertemukan ajaran-ajaran Islam dengan filsafat Yunani sebagai seorang
filosuf, Al-Kindi amat percaya kepada kemampuan akal untuk memperoleh
pengetahuan yang benar tentang realitas. Tetapi dalam waktu yang sama
diakuiinya pula keterbatasan akal untuk mencapai pengetahuan metafisis. Oleh
karena itu menurut Al-kindi diperlukan adanya nabi untuk mengajarkan hal-hal
yang berada diluar jangkauan akal manusia yang diperolah dari wahyu Tuhan.
Dengan demikianAl-Kindi tidak sepakat dengan pemikiran filosuf yunani dalam
hal-hal yang dirasakan bertentangan dengan ajaran agama Islam yang diyakininya.
Tuhan
dalam filsafat al kindi tidak mempunyai hakiakat dalam arti aniah atau
mahaniah. Tidak aniah karena kerena Tuhan tidak termasuk dalam benda-benda yang
ada dalam alam, bahkan Ia adalah pencipta alam. Ia tidak tersususn dari materi
dan bentuk, juga tidak mempunya hakiakat dalam bentuk mahaniah, karena Tuhan
bukan merupakan gensus dan species. Tuhan hanya satu, tidak ada yang serupa
dengan-Nya. Tuhan adalah unik, Ia semata-mata satu. Hanya Ia lah yang satu dari
pada-Nya mengandung arti banyak.[1]
2. Al-Farabi
(870-956 M)
Al-Farabi mempunyai pengetahuan yang luas. Ia
mendalami bebrbagai macam ilmu yang ada pada masanya termasuk filsafat. Ia
mendefinisikan filsafat sebagai ilmu yang menyelidiki hakikat sebenarnya dari
segala yang ada (Al-Ilmu Bil Maujudaat Baina Hia Al-Maujudat). Al-Farabi
berpendapat bahwa segala sesuatu keluar dari Tuhan. Karena Tuhan mengetahui
zat-Nya dan mengetahui bahwa Ia menjadi dasar susunan wujud yang
sebaik-baiknya, jadi ilmunya menjadi sebab bagi wujud semua yang diketahui-Nya.
Bagi Tuhan cukup dengan mengetahui zat-Nya yang menjadi sebab adanya alam maka
akan tercipta alam. dengan demikian, maka keluarnya alam (Mahkluk )dari Tuhan
terjadi tanpa gerak atau alat, karena emanasi adalah pekerjaan akal semata-mata.
Akan tetapi wujud alam tidak memberi kesempurnaan bagi Tuhan, karena wujud-Nya
bukanlah karena lainnya. Dan emanasi itu timbul karena pengetahuan (‘Ilmu)
terhadap zat-Nya yang satu. Dan Tuhan itu Esa sama sekali.
Suatu keistimewaan yang diraih oleh Al-Farrabi
adalah usaha yang Ia lakukan dalam mengkompromikan perbedaan faham antara Plato
dan Aristoteles. Plato mengatakan bahwa alam nyata yang kita lihat ini adalah
tiruan semata dari alam idea, sedangkan Aristoteles mengatakan sebaliknya,
bahwa alam idea hanyalah bayangan (pantulan) saja dari alam materi. Kita
melihat beberapa benda (materi). Lalu dari pantulan penglihatan itu barulah
kita dapat menyimpulksn suatu rumusan pendapat (konsep) tentang benda itu.dan
konsepsi itulah menurut Aristoteles yang dinamakan idea. Kalau Plato mengatakan
bahwa alam dunia ini adalah baru (hadis) dan tidak abadi, maka sebaliknya
Aristoteles mengatakan bahwa alam dunia ini Qadim (azali) sudah ada sejak
semula dan abadi selama-lamnya. Untuk kedua hal tersebut Al-Farrabi mengatakan
bahwa semua filasfat itu memikirkan kebenaran . dan karena kebenaran itu
hanyalah satu macam dan serupa hakikatnya, maka semua filsafat itu pada
prisipnya tidak berbeda. Begitu juga antara filsafah dan agama. Filsafat
memikirkan kebenaran, sedangkan agama juga memikirkan kebenaran maka tidak ada
perbedaan antara filsafat dan agama. Dan kedua pertentangan diatas janganlah
dianggap sebagai pertentangan yang mutlak dan prinsipil, tetapi haruslah
dianggap sebagai pertentangan yang relative dan hanya soal rincian saja.
3. Ibnu
Rusyd (1126-1198 M)
Ibnu Rusyd adalah seorang filosuf yang beraliran
filsafat Yunani. Karya-karyanya banyak yang berisi pembelaan terhadap
serangan-serangan yang dilkukan oleh Al-Ghazali terhadap filsafat Yunani
seperti Aristoteles. Ia juaga terkenal karena pendapat beliau yang bertentangan
dengan para ulama-ulama yang ada pada masa itu. Oleh karena itu, antara Ibnu
Rusyd dan ahli-ahli hukum Islam terdapat permusuhan dan atas tuduhan bahwa ia
menganut paham-paham filsafat yang bertentangan dengan ajaran Islam ia akhirnya
ditangkap dan diberi hukuman tahanan kota di Lucena, yang terletak dekat dengan
Cordova. Kemudian dipindahkan ke Maroko dan meninggal disana pada tahun 1198 M.
Dalam masalah filsafat, ia berpendapat bahwa manusia
wajib atau sekurang-kurangnya sunnat untuk melakukan filsafat, dan tugas
seorang filosuf adalah berpikir tentang wujud untuk mengetahui pencipta semua
yang ada ini. Dan Al-Qur’an, menyuruh supaya manusia berpikir tentang wujud dan
Alam sekitarnya sebagai alasan untuk meyakinkan tentang adanya Tuhan. Dengan
demikian sebenarnya tuhan menyuruh manusia supaya berfilsafat. Dan apabila
pendapat akal bertentangan dengan wahyu, teks wahyu harus diberi interpentasi
atau takwil begitu rupa hingga sesuai dengan akal. Dalam masalah pengetahuan
Tuhan ia menyetujui pendapat Aristoteles yang mengatakan sesuatu yang diketahui
Tuhan itu menjadi sebab untuk adanya pengetahuan Tuhan. SehinggaTuhan adalah
sebuah kehidupan yang abadi, sempurna dari segala jurusan dan sudah puas dengan
kesempurnaan zat-Nya sendiri.
Dalam masalah
keazalian alam Ibnu Rusyd mengatakan bahwa alam adalah azali. Jadi ada dua
keazalian yaitu Tuhan dan alam. Namun keazalian Tuhan lain dengan keazalian
alam. Keazalian Tuhan lebih utama dari keazalian alam. Ia berargumen seandainya
alam tidak azali, ada permulaannya , maka hadislah alam ini (baru). Dan setiap
yang baru mesti ada yang menjadikannya. Dan yang menjadikan ini haruslah ada
yang menjadikannya pula. Demikian berturu-turut tak ada habisnya. Padahal kejadian
berantai dan tak ada habisnya ini tak dapat diterima oleh akal, jadi
mustahillah bila alam ini hadis. Dan masih banyak masalah yang dibahas oleh
Ibnu Rusyd, seorang filsafat Islam yang menggema namanya di dunia Eropa dan
barat.[2]
4.
Al-Gazali (1059- 1111 M)
Nama
lengkapnya Zainuddin Hujjatul-Islam Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali,
dilahirkan di Tous (Khurasan). Al-Ghazali dikenal luas sebagai peletak pilar
ilmu Tasawuf Islam, dan berhasil menempatkan disiplin ilmu Tasawuf sejajar
dengan ilmu-ilmu keislaman lainnya. Sebelumnya, praktik Tasawuf banyak dikecam
terutama oleh kalangan fuqaha (ahli-ahli hukum), karena banyak dari praktisi
Tasawuf mengeluarkan pernyataan-pernyataan kontroversial yang dinilai
menyimpang dari ajaran baku Islam. Al-Ghazali juga dikenal sebagai Faqih (ahli
hukum), Mutakallim (ahli teologi), Filosof (ahli filsafat), di samping juga
memiliki pengetahuan yang bersifat ensiklopedik.
Bagi Ghazali, dunia hanyalah ladang untuk mencari
perbekalan bagi kehidupan nanti. Dan itu hanya mungkin tercapai bila ada
ketertiban, keamanan, dan kesejahteraan yang merata di dunia. Bertolak dari
itu, pemilihan tidak hanya berdasar rasio tetapi berdasar agama karena
kesejahteraan ukhrawi harus dilakukan melalui pengamalan dan penghayatan ajaran
agama secara sempurna. Dan hal itu baru tercapai dalam dunia yang tertib, aman,
dan tentram. Untuk mencapai hal tersebut, diperlukan kepala negara yang
ditaati, Ghozali meminjam suatu ungkapan, agama dan pemimpin ibarat dua anak
kembar, agama adalah pondasi sedang Sultan adalah penjaga. Suatu yang tanpa
pondasi akan runtuh dan suatu yang tanpa penjaga akan hilang. Konklusi yang
dapat diambil dari pemikiran ini adalah pentingnya keberadaan agama dan sultan
sebagai pilar untuk mewujudkan keamanan, ketertiban, dan kesejahteraan yang
merata. Keduanya memiliki fungsi dan peran masing-masing yang saling terkait
satu sama lain sebagai suatu system dengan tidak menitikberatkan pada satu
elemen belaka, melainkan keduanya dalam kerangka memilih pemimpin Negara.
islam cukup kreatif dalam mengadopsi sistem filsafat yunani dengan hembusan religiusnya nan ckup kental....
BalasHapus😘
BalasHapusIslam itu luas, menyerap segala ilmu termasuk filsafat. Yang menurut sebagian orang teradopsi nonmuslim. Tapu filsafat tetap dalam unsur religius.
BalasHapus